Friday, March 20, 2009

Sekedar menyorot balik.

Beberapa bulan lalu, gue dan temen gue, Ucul, mengalami hal yang kurang wajar.

Ini semua bermula dari izin ngelayat.

Sekolah Menengah Atas identik dengan kaula muda dan gejolaknya. Loe boleh buat survey, mana yang lebih banyak? Pelajar SMA yang mengikuti pelajaran dengan baik atau pelajar SMA yang memilih tidur dikelas, cabut pelajaran, cabut sekolah, dan sebagainya? Ga usah pake survey juga semua orang tau. Mayoritas pelajar SMA belajar karena terpaksa. (bisa jadi bukan hanya pelajar SMA, mungkin semua pelajar begini)

Gue dan Ucul menjadi murid paling depresi hari itu.

Siang hari di sekolah, ngantuk, capek, bosen.

Ucul: Cabut yuk?

Gue: (tersenyum, berarti meng-iya-kan)

Kita sepakat untuk cabut. Tidak dengan cara kriminal. Kita cabut dengan menggunakan yang disebut surat izin.

Surat izin yang dimaksut disini adalah surat izin meninggalkan sekolah. Dengan ketentuan:

1. Kita dapat mendapatkan surat izin dari guru piket.
2. Selain pembohong, disarankan untuk tidak melakukan ini. (kecuali guru piket terlihat mudah dibodohi)
3. Harus disertai tanda tangan guru yang sedang mengajar. (dapat dipalsukan)
4. Selanjutnya, guru piket yang bersangkutan harus turut menandatangani surat izin tersebut. (jika sudah memalsukan tanda tangan guru yang mengajar, diharap memalsukan tanda tangan guru piket demi keamanan)

Tentunya kali ini gue dan Ucul (terpaksa) berbohong demi mendapatkan surat izin.

(saat itu kami belum menyadari bahwa ini adalah kebohongan yang sangat fatal)

Guess what!? Gue dan Ucul pura-pura mau ngelayat karena guru pasti ngizinin kita pulang kalo konteksnya 'ngelayat'. Untuk kedua kalinya gue (bohong) izin ngelayat. Iya, emang ini kedengeran biasa aja. Mungkin sepele dimata lo. Tapi enggak kali ini!

Gue dan Ucul sukses keluar sekolah.

"Hoaaaaaaaaaaaah"

Kata 'hoah' akan selalu keluar dari mulut gue begitu berhasil keluar dari sekolah ditengah-tengah jam pelajaran (cabut). Kenapa? Gila ndro.. Berasa keluar dari penjara. Terkadang terasa seperti menemukan surga. Bebas, lepas, melayang ku melayang jauh.. Old song nich, Iwa K! Stop! Ini tidak sedang main-main.

Seperti layaknya pelajar cabut, senang, riang, hari yang ku impikan.. (lagunya Sherina)

Hari ini belum ada tanda-tanda yang mencurigakan.

Keesokan harinya, berita duka cita. Ayahanda dari teman kita meninggal dunia. Berita itu disiarkan lewat microphone sekolah, gue biasa menyebutnya 'halo-halo'.

Kematian bisa datang kapan saja.

Kematian adalah takdir.

Yang maha Esa yang maha tau.

Mendengar berita duka cita tersebut, gue dan Ucul saling berpandang. Pandangan yang penuh arti. Gue gak tahan dan akhirnya bernyanyi, "Dimatamu mengadung umpan, dibibirmu mengandung umpan.." dan Ucul pingsan. Enggak kok, gue bohong. Begini, kemaren kita izin ngelayat, sekarang bokapnya temen kita meninggal. Gue dan Ucul hanya menanggapi dengan satu kata, kebetulan.

Belum selesai.

Keesokan harinya (lagi),

Kali ini, guru agama gue. Udah lama sakit. Beliau meninggal di rumah sakit. Kembali disiarkan lewat 'halo-halo'.

Mendengar berita duka cita tersebut, lagi-lagi gue dan Ucul saling berpandang. Hari ini cara memadang kita lebih tajam dari kemarin. Gue bener-bener engga tahan liat mata Ucul, gue kedipin mata kanan gue. Ucul bales ngedipin mata kanannya. Gue melet-melet menggoda. Ucul ngelempar tulang sisa dia makan ayam bakar. Spontan gue kejar tulang itu. Spontan uhuy. Lanjut, ini serius. Gue dan Ucul masih menganggap ini semua hanya sebuah kebetulan.

Masih ada lagi.

Keesokan harinya (lagi-lagi),

temen gue, Fatu, terlihat tergesa-gesa.

Gue: Tu?

Fatu: Buru-buru nih gue!

Gue: Mau boker?

Fatu: Tante gue meninggal..

Mendengar hal itu, gue dan Ucul kembali melakukan kontak mata. Konsentrasi.. Bayangkan, anda berada di pantai.. Cukup bercandanya!

"Ini gak main-main Cul!" gue memperingatkan Ucul.

"Iya ty.."

Oke, kali ini kita sepakat bahwa ini bukan hanya sebuah kebetulan.

Gue dibuat kalut gara-gara ini. Masalahnya ini tentang kematian. Kematian itu bukan hal yang sepele. Kita emang salah kalo kita takut mati. Tapi coba, semua pasti mempertimbangkan kalo ditanya udah siap mati atau belom?

Ga tau berawal darimana, saat itu gue lagi on fire sama lagu 'Chelsea Smile'-nya Bring Me The Horizon. Itu udah lama ada di iPod gue, tapi kali itu gue bener-bener lagi repeat terus lagu itu. Iseng-iseng gue search liriknya. Gue mending ngitung beras daripada disuruh tebak lirik lagu itu. Oliver Sykes itu bekoar bukan nyanyi. Dan hasilnya setelah gue search lirik lagu itu, lagu itu adalah lagu tentang ajakan taubat karena akhir zaman sudah dekat.

Bayangkan. Disaat gue lagi bingung memikirkan, mengapa proses mengambilan nyawa terasa begitu singkat? Terlebih-lebih setelah gue menjadikan ngelayat sebagai kambing hitam. Gue dihadapkan dengan kenyataan bahwa lagu yang selama ini gue repeat adalah lagu tentang ajakan taubat karena akhir zaman sudah dekat.

Curiga gue penuh.

Gue gak bisa berkutik (begitu baca liriknya).

Masih didalam minggu yang sama. Hari Sabtu, pagi buta, terdengar lagu 'Hollaback Boy' yang dibawakan oleh Cobra Starship yang juga sukses menghancurkan molor gue. Itu adalah nada dering handphone gue.

Angga calling..

"Halo?" menjadi suara pertama gue dihari itu.

"Ty, mau ikut ngelayat nggak?"

Gue diam seketika. Seperti terpanah ketika sedang memancing.

"Nyelayat?" gue ingin memperjelas.

"Iya, bokapnya Bram"

Tanpa basa-basi, gue pergi ke rumah Bram.

Ternyata kejadian. Gue ngelayat beneran. Dan gue gak akan pernah bermain-main lagi dengan kata ngelayat. Gue sadar akan sesuatu, kebohongan gue waktu itu adalah fatal.

Semoga mereka diterima disisi-Nya.

Amin.

0 Comments:

Post a Comment